Komunikasi Nonverbal
Bentuk
awal komunikasi ini mendahului evolusi bagian otak (neocortex) yang berperan dalam penciptaan dan pengembangan bahasa
manusia. Jadi komunikasi nonverbal lebih tua daripada komunikasi verbal. Kita
lebih awal melakukannya, karena hingga usia kira-kira 18 bulan, kita secara
total bergantung pada komunikasi nonverbalseperti sentuhan, senyuman, pandangan
mata, dan sebagainya. Maka, tidaklah mengherankan ketika kita ragu pada
seseorang, kita lebih percaya pada pesan nonverbalnya. Orang yang terampil
membaca pesan nonverbal orang lain disebut intuitif, sedangkan yang terampil
mengirimkannya disebut ekspresif.
Menurut
Knapp dan Hall, isyarat nonverbal, sebagaimana symbol verbal, jarang punya
makna denotative yang tunggal. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah
konteks tempat perilaku berlangsung. Misalnya melihat mata orang lain dapat berarti
afeksi dalam satu situasi dan agresi dalam situasi lain. Makna isyarat
nonverbal akan semakin rumit jika kita mempertimbangkan berbagai budaya.
Pria-pria barat umumnya tidak terbiasa saling berpelukan. Namun perilaku itu
lazim dilakukan saat para pemain sepakbola memenangkan pertandingan atau salah
seorang dari mereka memasukkan bola ke gawang tim lawan.
Secara
sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut
Larry A. Samover dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal mencakup semua
rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan
lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim
atau penerima; jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak
disengaja sebagai bagian dari peristiwa
komunikasi secara keseluruhan; kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa
menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain.
Sebagaimana
kata-kata, kebanyakan isyarat nonverbal juga tidak universal, melainkan terikat
oleh budaya, jadi dipelajari, bukan bawaan. Sedikit saja isyarat nonverbal yang
merupakan bawaan. Kita semua lahir dan mengetahui bagaimana tersenyum, namun
kebanyakan ahli sepakat bahwa di mana, kapan, dan kepada siapa kita menunjukkan
emosi ini dipelajari, dan karenanya
dipengaruhi oleh konteks dan budaya. Sementara kebanyakan perilaku verbal kita
bersifat eksplisit dan dip roses secara kognitif, perilaku nonverbal kita
bersifat spontan, ambigu, sering berlangsung cepat, dan diluar kesadaran dan
kendali kita. Karena itulah Edward T. Hall menamai bahasa nonverbal ini sebagai
“bahasa diam” (silent language) dan
“dimensi tersembunyi” (hiden dimension)
suatu budaya. Disebut diam dan tersembunyi, karena pesan-pesan nonverbal
tertanam dalam konteks komunikasi. Selain isyarat situasional dan relasional
dalam transaksi komunikasi, pesan nonverbal memberi kita isyarat-isyarat
kontekstual. bersama isyarat verbal dan isyarat kontekstual, pesan nonverbal
membantu kita menafsirkan seluruh makna pengalaman komunikasi.
Dibandingkan
dengan studi komunikasi verbal, studi komunikasi nonverbal sebenarnya masih
relative baru. Bila bidang pertama mulai diajarkan pada zaman Yunani kuno,
yakni studi tentang persuasi, khususnya pidato, studi paling awal bidang kedua
mungkin baru dimulai pada tahun 1873 oleh Charles Darwin yang menulis tentang ekspresi
wajah. Sejak itu, banyak orang mengkaji pentingnya komunikasi nonverbal demi
keberhasilan komunikasi, bukan hanya ahli-ahli komunikasi, tetapi juga
antropolog, psikolog, dan sosiolog. Simbol-simbol nonverbal lebih sulit
ditafsirkan daripada simbol-simbol verbal. Tidak ada satu pun kamus andal yang
dapat membantu menerjemahkan simbol nonverbal.
Salah
seorang penggagas bahwa gerakan nonverbal itu sinkron dengan gerakan verbal
adalah William Condon, setelah ia menganalisis ucapan dan gerakan tubuh secara
terperinci, dengan menggunakan kamera film berkecepatan tinggi yang dilengkapi
suara. Condon menduga bahwa tidak ada isyarat, bahkan tidak ada kedipan mata,
yang bersifat acak. Setiap gerakan sinkron dengan ucapan.
FUNGSI KOMUNIKASI NONVERBAL.
Meskipun
secara teoritis komunikasi nonverbal dapat dipisahkan dari komunikasi verbal,
dalam kenyataannya kedua jenis komunikasi itu jalin menjalin dalam komunikasi
tatap muka sehari-hari. Sebagian ahli berpendapat, terlalu mengada-ada
membedakan kedua jenis komunikasi ini. Dalam bahasa, tanda Amerika untuk kaum
tuna rungu gerakan tangan yang digunakan sebenarnya bersifat linguistic
(verbal). Dalam komunikasi ujaran, rangsangan verbal dan rangsangan nonverbal
itu hampir selalu berlangsung bersama-sama dalam kombinasi. Kedua jenis
rangsangan itu diinterpertasikan bersama-sama oleh penerima pesan. Misalnya
ketika anda mengatakan “tidak” tanpa anda sadari anda juga menggelengkan kepala
pada saat yang sama; anda tidak mengatakan “tidak” terlebih dulu lalu
menggelengkan kepala sesudahnya. Kita memproses kedua jenis rangsangan itu
dengan cara serupa sehingga kita mudah mudah terkecoh untuk menekankan
perbedaan yang sebenarnya tidak hakiki, seperti dijelaskan Mark L. Knapp:
Istilah
nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di
luar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari
bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini di tafsirkan melalui
simbol-simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu
tidak sungguh-sungguh bersifat nonverbal.
Tidak
ada struktur yang pasti, tetap, dan dapat diramalkan mengenai hubungan antara
komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Keduanya dapat berlangsung spontan,
serempak dan nonsekuensial. Akan tetapi, kita dapat menemukan setidaknya tiga
perbedaan pokok antara komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Pertama, sementara perilaku verbal
adalah salurantunggal, perilaku nonverbal bersifat multisaluran. Kata-kata
dating dari satu sumber, misalnya yang diucapkan orang, yang kita baca di media
cetak, tetapi isyarat nonverbal dapat dilihat, didengar, dirasakan, dibaui,
atau dicicipi, dan beberapa isyarat boleh jadi berlangsung secara simultan.
Bila kita mendengar suatu kata dalam bahasa asing yang tidak kita ketahui, kita
dapat memeriksanya dalam kamus atau buku tentang frase dan memperkirakan apa
yang dimaksud pembicara. Kita dapat pula meminta pembicara mengulangi dan
menjelaskan kata yang diucapkannya. Namun kita sulit mengecek apa makna
perilaku nonverbal pembicara, meskipun kita bisa mengajukan pertanyaan ganjil
“Anda baru saja tersenyum dan menggerakkan kepala Anda seperti ini; Apa maksud
Anda?”
Kedua, pesan verbal
terpisah-pisah, sedangkan pesan nonverbal sinambung. Artinya, orang dapat
mengawali dan mengakhiri pesan verbal kapan pun ia menghendakinya, sedangkan
pesan nonverbal tetap “mengalir”, sepanjang ada orang yang hadir di dekatny.
Ini mengingatkan kita pada salah satu prinsip
komunikasi bahwa kita tidak dapat
tidak berkomunikasi; setiap perilaku punya potensi untuk ditafsirkan. Jadi
meskipun anda dapat menutup saluran linguistik anda untuk berkomunikasi dengan
menolak berbicara atau menulis, anda tidak mungkin menolak perilaku nonverbal.
Seorang penulis mempelajari fakta ini dari produser film Sam Goldwyn ketika ia
menyajikan proposalnya untuk sebuah film baru. “Mr. Goldwyn,” penulis itu
memohon, “Saya akan menceritakan sebuah kisah yang sensasional. Saya hanya
meminta pendapat anda, dan anda tertidur.” ‘Goldwyn menajawab, “Bukankan tidur
juga suatu pendapat?” Dalam konteks ini, Erving Goffman menyarankan bahwa
terdapat expression given dan expression given off; yang pertama
merupakan komunikasi verbal untuk menyatakan informasi, yang kedua merupakan
komunikasi nonverbal terlepas dari apakah hal itu disengaja atau tidak. Dalam
buku lainnya Goffman mengatakan:
Meskipun
seorang individu dapat berhenti berbicara, ia tidak dapat berhenti berhenti
berkomunikasi melalui idiom tubuh; ia harus mengatakan suatu hal yang benar
atau salah. Ia tidak dapat tidak mengatakan sesuatu. Secara paradoks, cara ia
memberikan informasi tersedikit tentang dirinya sendiri – meskipun hal ini
masih bisa dihargai – adalah menyesuaikan diri dan bertindak sebagaimana orang
sejenis itu diharapkan bertindak.”
Perbedaan
ketiga, komunikasi nonverbal
mengandung lebih banyak muatan emosional daripada komunikasi verbal. Sementara
kata-kata umumnya digunakan untuk menyampaikan fakta, pengetahuan, atau
keadaan, pesan nonverbal lebih potensial untuk mendapatkan beasiswa atau memperistri seseorang ditolak, anda mungkin
berkata, “Tak apa-apa,” tetapi ekspresi wajah dan pandangan mata anda boleh
jadi menunjukkan kekecewaan yang mendalam.
Dilihat dari fungsinya, perilaku nonverbal mempunyai
beberapa fungsi. Paul Ekman menyebutkan lima fungsi pesan nonverbal, seperti
yang dapat di lukiskan dengan perilaku mata, yakni sebagai :
·
Emblem. Gerakan
mata tertentu merupakan simbol yang memiliki kesetaraan dengan simbol verbal.
Kedipan mata dapat mengatakan, “Saya tidak sungguh-sungguh.”
·
Ilustrator. Pandangan kebawah dapat menunjukkan depresi atau kesedihan.
·
Regulator. Kontak
mata berarti saluran percakapan terbuka. Memalingkan muka menandakan
ketidaksediaan berkomunikasi.
·
Penyesuai.
Kedipan mata yang meningkat ketika orang berada dalam tekanan. Itu merupakan
respons tidak disadari yang merupakan upaya tubuh untuk mengurangi kecemasan.
·
Affect Display. Pembesaran manik-mata (pupil
dilation) menunjukkan peningkatan emosi. Isyarat wajah lainnya menunjukkan
perasaan takut, terkejut atau senang.
Lebih jauh lagi, dalam hubungannya dengan perilaku
verbal, perilaku nonverbal mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut :
·
Perilaku
nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal, misalnya anda menganggukkan kepala
ketika anda mengatakan “Ya,” atau menggelengkan kepala ketika mengatakan
“Tidak,” atau menunjukkan arah (dengan telunjuk) ke mana seseorang harus pergi
untuk menemukan WC.
·
Memperteguh,
menekankan atau melengkapi perilaku verbal. Misalnya anda melambaikan tangan
seraya mengucapkan “Selamat Jalan,” “Sampai jumpa lagi, ya,” atau “Bye bye”;
atau anda menggunakan gerakan tangan, nada suara yang meninggi, atau suara yang
lambat ketika anda berpidato di hadapan khalayak. Isyarat nonverbal demikian
itulah yang disebut affect display.
·
Perilaku
nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal, jadi berdiri sendiri, misalnya
anda menggoyangkan tangan anda dengan telapak tangan mengarah ke depan (sebagai
pengganti kata “Tidak”) ketika seorang pengamen mendatangi mobil anda atau anda
menunjukkan letak ruang dekan dengan jari tangan tanpa mengucapkan sepatah kata
pun, ketika seorang mahasiswa baru yang bertanya, “Di mana ruang dekan, Pak?”
Juga ekspresi wajah dapat menggantikan “hari yang buruk,” Isyarat nonverbal yang
meggantikan kata atau frase inilah
yang disebut eblem.
·
Perilaku
nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal. Misalnya anda sebagai mahasiswa
mengenakan jaket atau membereskan buku-buku atau melihat jam tangan anda
menjelang kuliah berakhir, sehingga dosen segera menutup kuliahnya.
·
Perilaku
nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan perilaku verbal. Misalnya,
seorang suami mengatakan “Bagus! Bagus!” ketika diminta komentar oleh istrinya
mengenai gaun yang baru dibelinya, seraya terus membaca surat kabar atau
menonton televisi; atau seorang dosen melihat jam tangan dua-tiga kali, padahal
tadi ia mengatakan bahwa ia mempunyai waktu berbicara dengan anda sebagai
mahasiswanya.
KLASIFIKASI
PESAN NONVERBAL
Menurut Ray L. Birdwhistell, 65% dari komunikasi
tatap-muka adalah nonverbal, sementara menurut Albert Mehrabian, 93% dari semua
makna sosial dalam komunikasi tatap muka diperoleh dari isyarat-isyarat
nonverbal. Dalam pandangan Birdwhistell; kita sebenarnya mampu mengucapkan
ribuan suara vokal, dan wajah kita dapat menciptakan 250.000 ekspresi yang
berbeda. Secara keseluruhan, seperti di kemukakan para pakar, kita dapat
menciptakan sebanyak 700.000 isyarat fisik yang terpisah, demikian banyak
sehingga upaya untuk mengumpulkan akan menimbulkan fristasi.
Kita dapat mengklasifikasikan pesan-pesan nonverbal ini
dengan berbagai cara. Jurgen Ruesch megkasifikasikan isyarat nonverbal menjadi
tiga bagian. Pertama, bahasa tanda
(sign language) - acungan jempol untuk numpang mobil secara gratis; bahasa
isyarat tuna rungu; kedua, bahasa
tindakan (action language) - semua gerakan tubuh yang tidak digunakan secara
eksklusif untuk memberikan sinyal, misalnya berjalan; dan ketiga, bahasa objek (object language) – pertunjukkan benda,
pakaian, dan lambang nonverbal bersifat publik lainnya seperti ukuran ruangan,
bendera, gambar (lukisan), musik (misalnya marching band), dan sebagainya baik
secara sengaja ataupun tidak. Secara garis besar Larry A. Samovar dan Richard
E. Porter membagi pesan-pesan nonverbal menjadi dua kategori besar, yakni : pertama, perilaku yang terdiri dari
penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata,
sentuhan, bau-bauan, dan parabahasa; kedua,
ruang, waktu, dan diam. Klasifikasi Samovar dan Porter ini sejajar dengan
klasifikasi John R. Wenburg dan William W. Wilmot, yakni isyarat-isyarat
nonverbal perilaku (behavioral) dan
isyarat-isyarat nonverbal bersifat publik seperti ukuran ruangan dan
faktor-faktor situasional lainnya.
BAHASA
TUBUH
Bidang yang menelaah bahasa tubuh adalah kinesika (kinesics), suatu istilah yang
diciptakan seorang perintis studi bahasa nonverbal, Ray L. Birdwhistell. Setiap
anggota tubuh seperti wajah (termasuk senyuman dan pandangan mata), tangan,
kepala, kaki, dan bahkan tubuh secara keseluruhan dapat digunakan sebagai
isyarat simbolik.
Isyarat
tangan
Kita sering menyertai ucapan kita dengan isyarat tangan.
Perhatikanlah orang yang sedang menelepon. Meskipun lawan bicara tidak
terlihat, ia menggerak-gerakkan tangannya. Isyarat tangan atau “Berbicara
dengan tangan” termasuk apa yang disebut emblem, yang dipelajari, yang punya
makna dalam suatu budaya atau subkultur. Meskipun isyarat tangan yang digunakan
sama, maknanya boleh jadi berbeda; atau, isyarat fisiknya berbeda, namun
maksudnya sama. Dalam suatu studi yang melibatkan 40 budaya, sementara seorang
spesialis Arab pernah mendaftar setidaknya 247 isyarat berlainan yang digunakan
oleh Arab untuk melengkapi pembicaraan.
Saya pernah tinggal dengan sebuah keluarga Australia yang
memiliki tiga anak lelaki. Anak terbesar sedang berada di Brasil ketika saya
pertama kali tiba di rumah mereka. Sekita dua minggu kemudian, anak mereka pulang dari Brasil,
setelah setahun berada di sana. Pengalaman dan kenangan selama tinggal di sana
diceritakan dengan antusias. Ternyata banyak sekali hal yang janggal dan lucu,
karena kendala bahasa dan adat yang berbeda.
Ketika semua anggota keluarga mendapatkan oleh-oleh, saya
pun mendapa bagian berupa sebuah patung kayu kecil yang menggambarkan kepalan
tangan dengan posisi jempol di apit jari telunjuk dan jari tengah. Sesaat saya
merasa malu, bingung, dan sama sekali tidak tahu harus berkata apa. Reaksi saya
tampaknya mempengaruhi seisi rumah. Saya benar-benar rikuh, meskipun saya
senang mendapatkan hadiah tersebut. Tetapi hadiah tersebut rasanya kurang
pantas untuk saya. Sepengetahuan saya, posisi tangan demikian berkonotasi
negatif dan tidak pantas diperlihatkan seperti itu.
Saya berusaha menerangkan apa yang terjadi dan makna
posisi tangan seperti itu di Indonesia. Dalam hati, saya yakin bahwa ia tidak
tahu tentang hal ini dan sejujurnya ia ingin memberi hadiah saja. Setelah
mereka mengerti masalahnya, semua orang tertawa. Ternyata di Brasil posisi jari
demikian punya arti yang berlawanan, yaitu good
luck (semoga berhasil) atau sejenisnya yang berarti baik. Kini giliran saya
yang tertawa, menyadari betapa gerakan tangan bisa memiliki arti yang sama
sekali berbeda di negeri lain.
Gerakan
Kepala
Di beberapa negara, angguakan kepala malah berarti
“tidak,” seperti di Bulgaria, sementara isyarat untuk “ya” di negara itu adalah
menggelengkan kepala. Orang Inggris, seperti orang Indonesia, ia menganggukkan
kepala untuk menyatakan bahwa mereka mendengar, dan tidak berarti menyetujui.
Di yunani, orang mengatakan “tidak” dengan menyentakkan kepalanya ke belakang
dan menengadahkan wajahnya, begitu juga Timur Tengah, sementara di Ethiopia
orang menggoyangkan jari dari sisi ke sisi, namun mengatakan “ya” dengan
melemparkan kepalanya ke belakang. Sebagian orang Arab dan Italia mengatakan
“tidak” dengan mengangkat dagu, yang bagi orang Maori di Selandia Baru berarti
“ya”. Di beberapa wilayah di India dan Ceylon, “ya” dapat dikomunikasikan
dengan melemparkan kepala ke belakang dan memutar leher sedikit, dengan
menyentakkan kepala ke bawah-kanan, atau memutar kepala secara cepat dalam
suatu gerakan melingkar. Gelengan kepala yang berarti “tidak” di Indonesia
malah berarti “ya” di India Selatan. Seorang pria di Indonesia yang
meninggalkan Bombay (Mumbay) untuk kembali ke Indonesia pernah terheran-heran
ketika kuli yang membawakan barangnya dari taksi menuju ruang tunggu bandara,
menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tetap berdiri dan tersenyum, setelah ia
membayar jasanya dua dollar AS. Ia pikir upah yang ia berikan kurang. Maka ia
menambahkan 0,50 dollar. Namun kuli itu tetap saja bersikap demikian, bahkan
senyumannya melebar. Karena jengkel, ia tinggalkan juga kuli itu. Ternyata,
berdasarkan obrolan dengan seorang warga Bombay, menggeleng-gelengkan kepala
disana berarti tanda setuju dan terima
kasih atas pemberian upah tersebut, jadi artinya sama dengan
mengangguk-anggukkan kepala di Indonesia.
POSTUR
TUBUH DAN POSISI KAKI
Postur
tubuh sering bersifat simbolik. Beberapa postur tubuh tertentu diasosiasikan
dengan setatus social dan agama tertentu. Selama berabad-abad rakyat tidak
boleh duduk atau berdiri lebih tinggi dari pada (kaki) raja atau kaisarnya.
Dalam film anna and the king dilukiskan
bagai mana anna ( yang menjadi guru anak-anak raja dikerajaan siam ) ditegur
oleh petinggi kerajaan ketika ia menghadap raja dan melakukan penghormatan ala
inggris dengan mnembukukan badannya, tetapi tetap dianggap kurang hormat karena
tubuh wanita inggris itu masih lebih tinggi dari (kaki) raja.
Postur
tubuh memang mempengaruhi citra diri. Beberapa penelitian dilakukan untuk
mengetahui hubungan antara pisik dan karakter atau tempramen. Klasifikasi
bentuk tubuh yang dilakukan William Sheldon mislanya menunjukan hubungan atara
bentuk tubuh dan tempramen. Ia menghubungkan tubuh yang gemuk (endomorph)
dengan sifat malas dan tenang, tubuh yang atletik (mensomorph) dengan sifat
alternative dan kepercayaan diri, dan tubuh yang kurus (ectomorph) dengan sifat
introvert yang lebih menyayangi aktifitas mental daripada aktifitas fisik. Cara
duduk atau berdiri juga sering dimaknai berbeda di setiap Negara .
Tahukah
anda bahwa seperempat penduduk terbiasa bersantai dengan berjongkok? Kebanyakan
orang barat menganggap posisi ini tidak layak, primitive dan kekanak-kanakan.
Cara
orang berjalan pun dapat memberi pesan pada orang lain apakah orang itu merasa,
lelah, sehat, bahagia, riang, sedih, atau angkuh. Orang yang berjalan lamban
member kesan loyo dan lemah. Pria yang berjalan tegap dan tenang ketika
memasuki ruangan untuk diwawancarai member kesan percaya diri.
Ekspresi wajah dan Tatapan Mata
Para
dramawan, pelatih tari bali, dan pembuat topeng dinegara kita paham betul
mengenai perubahan suasana hati dan makna yang terkandung dalam ekspresi wajah,
seperti juga pengarah, pemain, dan penari kabuki di Jepang. Masuk akal banyak
orang beranggapan perilaku nonverbal yang paling banyak “berbicara” adalah
ekspresi wajah, khususnya pandangan mata meskipun mulut tidak berkata.
Okulesika (oculesics) merujuk pada setudi tentang penggunaan kontak mata
(termasuk reaksi manic mata) dalam berkomunikasi. Menurut Robert Mahrabian,
andil wajah bagi pengaruh pesan adalah 55%, sementara vocal 30%, dan verbal
hanya 7%. Menurut Birdwhistell, perubahan sangat sedikit saja dapat menciptakan
perbedaan yang besar. Ia menemukan misalnya bahwa terdapat 23 cara berbeda
dalammengangkat alis yang masing-masing mempunyai makna yang berbeda.
Kontak
mata punya dua fungsidalam komunikasi antar peribadi. Pertama, fungsi pengantar
untuk memberitahu orang lain apakah anda akan melakukan hubungan dengan orang
itu atau menghindarinya. Ketika anda berada dalam lift, misalnya memberi tahu
,mereka bahwa anda lebih tidak suka berbicara dengan tidak melihat mata mereka.
Jika anda ingin memcahkan kebekuan itu, anda menggunakan mata anda untuk
berhubungan baik sebelum atau serempak dengan pesan verbal anda. Kedua, fungsi
eksfresif, memberitahu orang lain bagaimana perasaan anda terhadapnya. Pria
lebih banyak menggunakan kontak mata dengan orang yang mereka sukai, meskipun
menurut penelitian, perilaku ini kurang ajag di kalangan wanita.
Ekspresi
wajah merupakan perilaku nonverbal utama
yang mengekspresikan keadaan emosional seseorang. Sebagian pakar mengakui,
terdapat beberapa keadaan emosional yang dikomunikasikan oleh ekspresi wajah
yang tampaknya dipahami secara universal; kebahagiaan, kesedihan, ketakutan,
keterkejutan, kemarahan, kejijikan, dan minar. Ekspresi-ekspresi wajah tersebut
dianggap “murni,” sedangkan keadaan emosional lainnya (misalnya malu, rasa
berdosa, bingung, puas) dianggap “campuran,” yang umumnya lebih bergantung pada
interpretasi. Sedikit kekecualian atau variasi memang harus diantisipasi.
Misalnya – seperti lazimnya – orang Amerika menunjukkan keterkejutannya dengan
mulut ternganga dan alis yang naik, sedangkan orang-orang Eskimo, Tingit, dan
Brasil menunjukkan hal yang sama dengan menepuk pinggul mereka.
Secara
umum dapat dikatan bahwa ekspresi wajah dan pandangan mata tidak lah universal,
melainkan sangat dipengaruhi oleh budaya.
SENTUHAN
Setudi
tentang sentuh-menyentuh disebut haptika (haptics) sentuhan, seperti foto
adalah perilaku nonverbal yang multi makna dapat menggantikan seribu kata.
Kenyataan sentuhan ini bisa merupakan tamparan, cubitan, pukulan, senggolan,
tepukan, pelukan, pegangan (jabat tangan), rabaan, hingga sentuhan lembut
sekilas.
Menurut
Heslin, terdapat lima kategori sentuhan, yang merupakan suatu rentang dari yang
sangat inprosional hingga yang sangat personal. Kategori-kategori tersebut
adalah sebagai berikut :
·
Fungsional-profesional, disini sentuhan
bersifat “dingin” dan berorientasi bisnis, misalnya pelayan toko membantu
pelanggan memilih pakaian.
·
Sosial-sopan. Perilaku dalam situasi ini
membangun dan mempertegyuh pengharapan antara dan praktik social yang berlaku,
misalnya berjabatan tangan.
·
Persahabatan-kehangatan. Kategori ini
meliputi setap sentuhan yang mendakan efeksi atau hubungan yang akrab, misalnya
dua orang yang saling merangkul setelah mereka lama berpisah
·
Cinta-keintiman. Kategori ini merujuk pada
sentuhan yang menyatakan ketertarikan, misalnya mencium pipi orang tua dengan
lembut, orang yang sepenuhnya memeluk orang lain, dua orang yang bermain kaki
di bawah meja, orang Eskimo yang saling menggosoka hidung.
·
Rangsangan-seksual. Kategori ini berkaitan
dengan kategori sebelumnya, hanya saja motofnya bersifat seksual. Rangsangan
seksual tidak otomatis bermakna cinta atau keintiman.
Seperti
makna pesan verbal, makna pesan nonverbal, termasuk sentuhan, bukan hanya
bergantung pada budaya, tetapi juga pada konteks. Jabatan tangan kepada seorang
kawan lama bisa berarti “saya senang berjumpa dengan kamu lagi” kepada orang
yang baru kita kenal pertama kali “kita lihat nanti apakah kita cocok untuk
bersahabat, kepada sejawat yang baru pulang lulus dari studi S2 atau S3 diluar
negri, “selamat atas keberhasilan anda” kepada mitra bisnis,” mudah mudahan
usaha kita berhasil”, kepada tetangga yang kita kunjungi pada saat lebaran,
“marilah kita saling memaafkan dan saling melupakan kesalahpahaman yang pernah
terjadi di antra kita.
Benar
kata Birdwhistell bahwa tindakan, seperti kata-kata, hanya mempunyai makna
social dalam konteks. Kita tidak dapat sekedar bertanya apa makna suatu
isyarat, karena kita tidak dapat membuat generalisasi mengenai gerakan tubuh
dalam semua situasi.
Berbagai
budaya memperaktekan berjabat tangan (slaman) dengan cara yang berlainan. Di
spanyol orang diharapkan dengan lima hingga tujuh goyangan tangan, di prancis
satu kali saja, yang membuat orang spanyol tersinggung karena hal itu dianggap
penolakan. Dalam budaya sunda salaman tradisional dilakukan dengan kedua tangan
dengan telapak tangan dirapatkan berhadapan, dimulai dengan menyentuhkan tangan
kita ke tangan oran lain lalu kita menyentuhkan ibu jari yang dirapatkan ke
hidung. Dalam budaya Jawa, salaman tradisionalnya justru dimulai dengan
menyentuhkan kedua ibu jari kehidung, lalu menyentuhkan tangan kita ketangan
orang lain. Bila seorang wanita sunda bersalaman dengan wanita jawa dengan cara
tradisional dengan menggerakan tangan mereka pada saat yang sama, kemungkinan
bessar tangan-tangan mereka tidak pernah bertemu, karena perbedaan cara salaman
tersebut.
PARABAHASA
Parabahsa
atau vikalika (vokalics) merujuk pada aspek-aspek suara selain ucapan yang
dapat dipahami, misalnya kecepatan berbicar, nada (tinggi atau rendah),
intensitas (volume), suara intonasi, kualitas vocal (kejelasan), warna suara,
dialek, suara serak, suara senggau, suara terputus-putus, suara yang gemetar,
suitan, tawa, erangan, tangisan, grutuan, gememman, desahan dan s ebagainya.
Setiap karakteristik suara ini mengkomunikasikanemosi dan pikiran kita. Suara
yang terengah-engah menandakan kelemahan, sedangkan suara yang terlalu cepat
menandakan ketegangan, kemarahan, atau ketakutan. Riset membuktikan bahwa
pendengar mempersepsi keperibadian komunikator lewat suara. Tidak berrti bahwa
persepsi mereka akurat, alih-alih mereka mendapat persepsi tersebut berdasarkan
eteorotif yang telah mereka kembangkan. Wanita dengan suara basah (misalnya
sebagai penyiar radio) dipersepsi lebih feminism dan lebih cantik daripada
wanita tanpa suara basah. Sedangkan pria dengan nada suara tinggi atau
melengking dianggap kewanita-wanitaan.
Atau boleh jadi wanita bersuara basah kelebihan berat badan dan pria
yang bersuara melengking petinju kelas berat. Salah satu kelebihan lagu-lagu
kelompok peterpan yang populer pada dekade pertam abad 21 di
indonesiakarena suara penyanyinya, Aril, dianggap seksi terutama oleh kaum
wanita penggemarnya.
Terkadang
kita bosan mendengarkan pembicaraan orang, bukan kerena isi pembicaraannya,
melainkan Karena cara menyampaikannya yang lamban dan monoton. Mehrabian dan
Ferris menyebutkan bahwa parabahsa adalah terpenting kedua setelah ekspresi
wajah dalam menyampaikan perasaan atau emosi. Menurut formula mereka, parabahasa
mempunyai andil 38% darikeseluruhan infak pesan. Oleh karena ekspresi wajah
punya andil 55% dari keseluruhan infak pesan, lebih dari 90% isi emosionalnya
ditentukan secara nonverbal. Bahkan Marabian dan Ferris mengakui bahwa impak
kata-kata terucap terhadap komponen emosional pesan hanya sekitar7%.
Anda
ingat, sebagian anggota DPR dan MPR yang “terhormat” itu berteriak “ Huu….”
Saat presiden B.J Habibi datang menghadiri rapat paripurna MPR tahun 1999.
Tidak sulit memaknai teriakan “Huuu…” itu sebagai pelecehan, meskipun
orang-orang bersangkutan mengucapkan kata apapun. Itu lah salah satu contoh
parabahasa. Meskipun aspek-aspek parabahasa ini bersangkutan erat dengan
komunikasi verbal, aspek-aspek tersebut harus dianggap bagian dari komunikasi
nonverbal , yang menunjukan kepada kita bagaimana parasaan pembicara mengenai
pesannya, apakah ia percaya diri, gugup, atau menunjukan aspek-aspek emosional
lainya.
PENAMPILAN FISIK
Perhatikan
pada penampilan fisik nampaknya universal. Sekitar 40.000 tahun lalu orang-orang
purba menggunakan tulang untuk dijadikan kalung dan hiasan tubuh lainya.
Bukti-bukti arkeologis menunjukan bahwa sejak saat itu orang-orang sangat
peduli dengan tubuh mereka. Mereka mengecatnya, mengikatkan sesuatu padanya,
dan merajahnya untuk terlihat cantik.
Setiap
oaring mempunyai persepsi mengenai penampilan fisik seseorang, baik itu
busananya ( model,kualitas bahan, warna ) dan juga ornament lain yang
dipakainya, seperti kaca mata, sepatu, tas, jam tangan, kalung, gelang, cincin,
anting-anting, dan sebagainya. Seringkali ornag member makna tertentu pada
karakteristik fisik orang yang bersangkutan, seperti bentuk tubuh, warna kulit,
model rambut, dan sebagainya.
BUSANA
Nilai-nilai
agama, kebiasaan, tuntutan lingkungan ( tertulis atau tidak ), nilai
kenyamanan, dan tujuan pecintaan semua itu mempengaruhi cara kita berdandan.
Bangsa-bangsa yang mengalami empat musim yang berbeda menandai perubahan musim
itu dengan cara mereka berpakaian. Pada musim dingin dengan udara dibawah 0
derajat Celsius misalnya, tidak ada orang yang menggunakan T, shirt dan celana
pendek diluar rumah. Di amerika busana berwarna teduh dikenakan untuk kegiatan
bisnis dan social. Di India dan Myanmar, busana bisnis lebih kasual daripada di
Eropa. Sering kali mereka mengenakan busana tradisional, seperti yang juga
dilakukan orang Arab ketika mereka berbisnis dengan orang luar. Setiap fase
penting dalam kehidupan sering ditandai dengan memakai busana tertentu, seperti
pakaian tradisional ketika anak lelaki di sunat, juga ketika kita di wisuda,
pakaian pengantin ketika kita menikah, dan kain kafan ketika kita meninggal.
Karakteristik Fisik
Seorang
peria dengan wajah kelimis boleh jadi bertanya kepada pria lain yang
berjenggot, “mengapa anda berjanggut?” padahal pertanyaan “mengapa wajah anda
berkumis?” sama sahnya untuk diajukan
kepadanya. Pria muslim berjenggot seringb dipersepsi sebagai fanatic dan
fundamentalis, tetapi tahukah anda bahwa wajah klimis konon melambangkan wajah
atlet-atlet Yunani. Karakteristik fisik seperti daya tarik, warna kulit,
rambut, kumis, jenggot, dab lipstick, jelas dapat mengkomunikasikan sesuatu.
Suatu studi menunjuka bahwa daya tarik fisik merupakan cirri penting dalam
banyak kepribadian, meskipun bersifat implisift. Orang yang menarik secara
fisik secara ajeg dinilai lebih pandai bergaul, luwes, tenang, menarik, hangat
secara seksual, resposif, persuasive, dan berhasil dalam karier dari pada orang
yang kurang menarik.
BAU-BAUAN
Konon
menurut para ahli, stiap orang memiliki bau tubuh yang khas, berkat zat yang
khas yang keluar dari tubuhnya, meskipun ia tidak memakai minyak wangi apapun.
Hanya saja diperlukan kepekaan untuk mengetahui bau tubuh seseorang. Sebagian
suami istri boleh jadi mengenal bau tubuh pasangannya masing-masing, karena
begitu lamanya mereka saling berdekatan,. Tetapi ini bukan bau badan Karen
keringat atau belum mandi, melainkan bau badan yang benar-benar alami, yang
ditebarkan senyawa kimia (disebut Feromon) yang dihasilkan kelenjar tertentu
dalam tubu. Para ahli menganalogikan bau bau badan orang ini dengan sidik jari,
karena merukan cirri khas setiap orang yang tidak sama dengan bau badan setiap
orang lainnya. Konon bau badan unik setiap orang ini juga berfungsi sebagai
daya tarik seksual.
Kita
dapat menduga bagaimana sifat seseorang dan selera makannya atau kepercayaannya
berdasarkan bau yang berasal dari
tubuhnya dan dari rumahnya. Bau kemenyan yang berasal dari rumah tetangga kita
setiap malam Jum’at mengkomunikasikan kepercyaan penghuni rumah itu, sebagimana
bau goring jengkol dari rumah yang sama dapat menyampaikan pesan mengenai makan
pemilik rumah. Manusia modern, khususnya wanita, kini menggunakan wewangian,
terutama farfum, untuk mewangikan tubuh mereka, memperoleh citra diri yang
positif dan menarik lawan jenisnya. Maka berbagai produk pewangi tubuh ini pun
diiklankan besar-besaran, dan mudah dibeli dipasaran. Berbagai macam pewangi
mulut pun mulai dipasarkan dan dijual. Mereka yang mengkonsumsinya dikesankan
akan memperoleh kesan positif dari lawan bicara, khususnya yang berlainan
jenis.
Wewangian
mengirim kesan lebih mendalam keotak.”kata Herry Darsono, perancang model
terkenal, sedangkan Victor Hugo mengatakan , “tidak sesuatupun membangkitkan
kenangan seperti suatu bau”. Bau bunga melati mungkin akan mengingatkan kita
pada kematian seseorang yang kita kasihi belasan tahun lalu, atau pada
perkawinan kita puluhan tahun lalu. Bau farpum tertentupun boleh jadi
mengingatkan kita pada seseorang yang khusus: ibunda, istri, mantan pacar,
sahabat, yang mungkin telah tiada.
ORIENTASI RUANG DAN JARAK PRIBADI
Setiap
budaya punya cara yang khas dalam mengkonseptualisasikan ruang, baik didalam
rumah, diluar rumah ataupun didalam berhubungan dengan orang lain, Edward
T.Hall adalah antropolog yang menciptakan istilah proxemics (proksemika) aebagai bidang studi yang menelaah persepsi
manusia atas ruang (pribadi dan social), cara manusia menggunakan ruang dan
pengaruh ruang terhadap komunikasi. Beberapa pakar lainnya memperluas konsep
proksemika ini dengan memperhitungkan seluruh lingkungan fisik yang mungkin
berpengaruh terhadap proses komunikasi, termasuk iklim (temperature),
pencahayaan, dan kepadatan penduduk.
William
Griffith dan Russell Veitch mengemukakan bahwa ketertarikan kita kepada
seseorang juga dipengaruhi oleh temperature dan kepadatan penduduk. Seorang
wanita akan tampak ‘lebih cantik” atau “lebih menarik” ditempat yang bersuhu
normal ketimbang ditempat yang bersuhu lebih tinggi, dan di tempat yang
kepadatan penduduknya rendah ketimbang ditempan yang kepadatan penduduknya
tinggi. Ini mengisyaratkan bahwa seorang wanita yang tidak menarik pun akan
terlihat “ bila iya satu-satunya wanita disuatu pulau, sementara penduduk pulau
lainya itu adalah lelaki, sehingga boleh jadi wanita tersebut akan diperbutkan.
Studi Griffit dan Veitch membantu menjelaskan mengapa daerah-daerah kumuh
diperkotaan terhadap berbagai kerusuhan atau tawuran antar warga, seperti yang
s erring terjadi di Jakarta. Masuk akal
pula bahwa anggka pembunuhan di Amerika Serikat selalu meningkat pada musim
panas dibandingkan dengan tiga musim lainnya. Sebabnya, pada musim panas siang
hari dinegara itu lebih panjang dari pada musim lainnya, itu berarti lebih
banyak orang keluar pada musim itu, apalagi musim liburan pun jatuh pada musim
panas, intensitas interaksi antar manusia yang tinggi pada gilirannya juga
menimbulkan frekuensi keributan yang tinggi pula.
Ruang
Pribadi vs Ruang Publik
Setiap orang, baik ia sadar atau tidak, memiliki ruang
pribadi (personal space) imajiner
yang bila dilanggar, akan membuatnya tidak nyaman. Kita selalu membawa ruang
pribadi ini kemana pun kita pergi, juga ketika kita naik lift atau naik bus
kota yang penuh sesak. Begitu masuk lift, sebagai kompensasi atas terlanggarnya
ruang pribadi, kebanyakan orang berdiam kaku, berusaha untuk tidak menyentuh
orang lain, menghindari tatapan orang lain, melihat langit-langit, atau
petunjuk di atas pintu lift. Mereka baru kembali ke keadaan normal lagi begitu
mereka keluar dari lift.
Untuk membuktikan lebih seksama bahwa setiap orang
memiliki ruang pribadi ini – bila anda laki-laki – hampirilah seorang wanita
yang tidak anda kenal (yang biasanya ruang pribadinya lebih besar daripada
ruang pribadi orang yang anda kenal) sedekat mungkin dengan anda. Misalnya anda
duduk tiba-tiba di sampingnya di perpustakaan, padahal ruang yang ada cukup
lapang. Ia pasti akan memberikan reaksi, seperti bergeser ke samping, atau
meletakkan buku atau tas sebagai pembatas antara dia dan anda. Bila ia pindah
ke tempat lain, ikuti dia dan duduklah di dekatnya seperti tadi. Kali ini
mungkin ia akan cemberut, menggerutu, atau memelototi anda. Jika ia menjauh
lagi, dekati lagi. Kini mungkin ia membentak anda untuk tidak mengganggunya,
atau ia kabur meninggalkan anda (anda dapat juga melakukan hal tersebut
terhadap seorang pria, dengan resiko anda akan dianggap homoseksual).
Ruang pribadi kita identik dengan “wilayah tubuh” (body territory), satu dari empat
kategori wilayah yang digunakan manusia berdasarkan perspektif Lyman dan Scott.
Ketiga wilayah lainnya adalah : wilayah publik (public territory), yakni
tempat yang secara bebas dimasuki dan ditinggalkan orang, dengan sedikit
kekecualian (hanya boleh dimasuki oleh kalangan tertentu atau syarat tertentu);
wilayah rumah (home teritorry), yakni
wilayah publik yang bebas dimasuki dan digunakan orang yang mengakui
memilikinya, misalnya bar homoseksual dan klub privat; dan wilayah
interaksional (interactional teritorry),
yakni tempat pertemuan yang memungkinkan semua orang berkomunikasi secara
infromal, seperti tempat pesta atau tempat cukur.
Posisi Duduk dan Pengaturan Ruangan
Saat anda pertama kali memasuki ruangan kuliah dan
memilih kursi, anda harus memutuskan dimana anda akan duduk, di depan, di
tengah, atau di belakang. Posisi duduk yang anda putuskan, bila anda berpeluang
untuk itu, boleh jadi akan ditafsirkan orang, termasuk dosen anda. Bila anda
memilih duduk di depan, mungkin anda di anggap orang pandai, ingin memperoleh
nilai yang baik, hangat, terbuka, atau mencari perhatian. Posisi tengah mungkin
diidentikkan dengan kerendahan hati, tidak ingin menonjol, sedangkan posisi
belakang mungkin diasosiasikan dengan ketidak pedulian atau kebodohan.
Secara umum dapat dikatakan, semakin formal penataan
ruangan, semakin formal pulalah komunikasi yang di kehendaki. Hubungan
pembicara dengan pendengar dalam suatu kuliah, seminar, lokakarya atau
pelatihan, juga bergantung pada pengaturan furnitur.
Penataan ruangan ini, baik ruang tertutup atau ruang
terbuka boleh jadi berkaitan dengan kepribadian, kebiasaan atau dilandasi oleh
kepercayaan atau ideologi tertentu. Pintu ruang kantor orang yang pribadinya
terbuka boleh jadi lebih sering terbuka daripada pintu ruang kantor orang yang
pribadi tertutup.
KONSEP
WAKTU
Waktu menentukan hubungan antarmanusia. Pola hidup
manusia dalam waktu dipengaruhi oleh budayanya. Waktu berhubungan erat dengan
perasaan hati dan perasaan manusia. Kronemika (chronemics) adalah studi dan interpretasi atas waktu sebagai pesan.
Bagaimana kita mempersepsi dan memperlakukan waktu secara simbolik menunjukkan
sebagian dari jati-diri kita: siapa diri kita dan bagaimana kesadaran kita akan
lingkungan kita. Bila kita selalu menepati waktu yang di janjikan, maka
komitmen pada waktu memberikan pesan tentang diri kita. Demikian pula
sebaliknya, bila kita sering terlambat menghadiri pertemuan penting.
Edward T.Hall membedakan konsep waktu menjadi dua: waktu
monokronik (M) dan waktu polikronik (P). Penganut waktu polikronik memandang
waktu sebagai suatu putaran yang kembali dan kembali lagi. Mereka cenderung
mementingkan kegiatan-kegiatan yang terjadi dalam waktu ketimbang waktu itu
sendiri, menekankan keterlibatan orang-orang dan penyelesaian transaksi ketimbang menpati jadwal waktu.
Sebaliknya penganut waktu monokronik cenderung mempersepsi waktu sebagai
berjalan lurus dari masa silam ke masa depan dan memperlakukannya sebagai
entitas yang nyata dan bisa di pilah-pilah, di habiskan, di buang, di hemat, di
pinjam, di bagi, hilang atau bahkan dibunuh, sehingga mereka menekankan penjadwalan
dan kesegeraan waktu. Waktu P dianut kebanyakan budaya timur, eropa selatan
(italia, yunani, spanyol, portugal) dan Amerika Latin, sedangkan waktu M dianut
kebanyakan budaya barat (Eropa Utara, Amerika Utara dan Australia).
Penganut waktu M cenderung lebih menghargai waktu, tepat
waktu, dan membagi-bagi serta menepati jadwal waktu secara ketat, menggunakan
satu segmen waktu untuk mencapai suatu tujuan. Sebaliknya penganut waktu P
cenderung lebih santai, dapat menjadwalkan waktu untuk mencapai beberapa tujuan
sekaligus. Karena dipengaruhi konsep waktu M, warga New York berjalan cepat,
bagai dikejar setan, kontras dengan warga Jakarta – apalagi wakrga Yogyakarta –
yang berjalan santai, karena dipengaruhi waktu P. Cara jalan mahasiswa di
kampus-kampus Indonesia. Ketika mahasiswa Amerika berjumpa dengan kawannya, ia
mengatakan “Hello” atau “Hi”, lalu ngobrol beberapa menit, dan
bergegas lagi ke perpustakaan untuk belajar atau ke pondokannya untuk
mengerjakan tugas. Bandingkan dengan mahasiswa Indonesia yang sering ngobrol
panjang sambil berjemur pelataran kampus. Mahasiswa Amerika menggunakan sepatu
roda dan skateboard untuk mengejar
waktu kuliah, agar memperoleh tempat duduk paling strategis; mahasiswa
Indonesia menggunakan benda-benda itu untuk gaya-gayaan.
DIAM
Ruang dan waktu adalah bagian dari lingkungan kita yang
juga dapat di beri makna. John Cage mengatakan, tidak ada sesuatu yang disebut
ruang kosong atau waktu kosong. Selalu ada sesuatu untuk dilihat, sesuatu untuk
didengar. Sebenarnya, bagaimanapun kita berusaha untuk diam, kita tidak dapat
melakukannya. Amatullah (Jyly) Armstrong, seorang sufi wanita Australia,
mengatakan bahwa musik terindah baginya adalah keheningan malam saat ia berdoa
kepada Allah. Penyanyi dan penulis lagu Paul Simon mungkin paling diingat
karena lagunya “The Sound of Silence”.
(Suara Diam). Bagi sebagian orang, judul lagu yang dinyanyikan Simon dan
Garfunkel ini tampaknya mengandung kata-kata yang bertentangan, namun lagu itu
menunjukkan kekuatan diam ketika kita berkomunikasi. Maka tidaklah mengejutkan,
dalam beberapa kasus perkosaan yang digelar dalam pengadilan di Indonesia,
tuduhan jaksa bahwa si terdakwa telah memperkosa dapat dimentahkan oleh argumen
terdakwa atau pembelanya bahwa wanita yang menjadi korban berdiam diri, tidak
mengaduh, menjerit, atau berteriak. Mereka berkilah bahwa wanita korban pun
“menikmati” tindakan terdakwa. Bagaimana kita menafsirkan perliaku diam wanita
yang menjadi korban dalam kasus itu. Tidak mudah, bukan? Akan tetapi, boleh
jadi wanita tersebut tidak melakukan perlawanan, tidak mengaduh, menjerit, atau
berteriak, karena ia khawatir akan dianiaya atau bahkan dibunuh oleh
pemerkosanya.
Penulis dan filosof Amerika Henry David Thoreau pernah
menulis, “Dalam hubungan manusia tragedi mulai bukan ketika ada kesalah pahaman
mengenai kata-kata, namun ketika diam tidak dipahami.” Sayangnya makna yang
diberikan terhadap diam terikat oleh budaya dan faktor-faktor sitausional.
Faktor-faktor yang mempengaruhi diam antara lain adalah durasi diam, hubungan
antara orang-orang yang bersangkutan, dan situasi atau kelayakan waktu.
WARNA
Kita sering menggunakan warna untuk menunjukkan suasana
emosional, cita rasa, afiliasi politik, dan bahkan mungkin keyakinan agama
kita, seperti ditunjukkan kalimat atau frase berikut: wajahnya merah, koran
kuning, feeling blue, matanya hijau
kalau melihat duit, kabinet ijo
royo-royo, dan sebagainya.
Tampaknya ada hubungan antara warna yang digunakan dengan
kondisi fisiologis dan psikologis manusia, meskipun kita memerlukan lebih
banyak penelitian untuk membuktikan dugaan ini. Misalnya, bukti ilmiah menunjukkan
bahwa gerakan pernapasan akan meningkat oleh cahaya merah dan menurun oleh
cahaya biru. Serupa dengan itu, frekuensi kedipan mata bertambah ketika mata
dihadapkan oleh cahaya merah dan berkurang ketika dihadapkan pada cahaya biru.
Ini tampaknya konsisten dengan perasaan naluriah kita tentang warna biru yang
lebih menyejukkan dan warna merah yang lebih aktif. Bagaimana pun, tampaknya
kita tidak dapat beristirahat tenang di ruangan yang dinding-dindingnya
berwarna merah menyala.
ARTEFAK
Artefak adalah benda apa saja yang dihasilkan kecerdasan
manusia. Aspek ini merupakan perluasan lebih jauh dari pakaian dan penampilan
yang telah kita bahas sebelumnya. Benda-benda yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia dan dalam interaksi manusia, sering mengandung
makna-makna tertentu. Bidang studi mengenai hal ini disebut objektika (objectics). Rumah, kendaraan, prabot rumah dan modelnya (furnitur,
barang elektronik , lampu kristal), patung, lukisan, kaligrafi, foto saat
bersalaman dengan presiden, buku yang kita pajang di ruang tamu, koran dan
majalah yang kita baca, botol minum keras, bendera dan benda-benda lain dalam
lingkungan kita adalah pesan-pesan bersifat nonverbal, sejauh dapat di beri
makna.
Tanpa memperhatikan sungguh-sungguh bagaimana budaya mempengaruhi
komunikasi, termasuk komunikasi nonverbal dan pemaknaan terhadap pesan
nonverbal tersebut, kita bisa gagal berkomunikasi dengan orang lain. Kita
cenderung menganggap budaya kita, dan bahasa nonverbal kita, sebagai standar
dalam menilai bahasa nonverbal orang dari budaya lain. Bila perilaku nonverbal
orang lain berbeda dengan perilaku nonverbal kita, sebenarnya itu tidak berarti
orang itu salah, bodoh atau sinting; alih-alih, secara kultural orang itu
sedikit berbeda dengan kita. Bila kita langsung meloncat pada kesimpulan
tentang orang lain berdasarkan perilaku nonverbalnya yang berbeda itu, maka
kita terjebak dalam etnosentrisme (menganggap budaya sendiri sebagai standar
dalam mengukur budaya orang lain).
No comments:
Post a Comment