Tuesday 11 June 2013

Bahasa Nonverbal


Komunikasi Nonverbal
Bentuk awal komunikasi ini mendahului evolusi bagian otak (neocortex) yang berperan dalam penciptaan dan pengembangan bahasa manusia. Jadi komunikasi nonverbal lebih tua daripada komunikasi verbal. Kita lebih awal melakukannya, karena hingga usia kira-kira 18 bulan, kita secara total bergantung pada komunikasi nonverbalseperti sentuhan, senyuman, pandangan mata, dan sebagainya. Maka, tidaklah mengherankan ketika kita ragu pada seseorang, kita lebih percaya pada pesan nonverbalnya. Orang yang terampil membaca pesan nonverbal orang lain disebut intuitif, sedangkan yang terampil mengirimkannya disebut ekspresif.
Menurut Knapp dan Hall, isyarat nonverbal, sebagaimana symbol verbal, jarang punya makna denotative yang tunggal. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah konteks tempat perilaku berlangsung. Misalnya melihat mata orang lain dapat berarti afeksi dalam satu situasi dan agresi dalam situasi lain. Makna isyarat nonverbal akan semakin rumit jika kita mempertimbangkan berbagai budaya. Pria-pria barat umumnya tidak terbiasa saling berpelukan. Namun perilaku itu lazim dilakukan saat para pemain sepakbola memenangkan pertandingan atau salah seorang dari mereka memasukkan bola ke gawang tim lawan.
Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A. Samover dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima; jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja  sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan; kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain.
Sebagaimana kata-kata, kebanyakan isyarat nonverbal juga tidak universal, melainkan terikat oleh budaya, jadi dipelajari, bukan bawaan. Sedikit saja isyarat nonverbal yang merupakan bawaan. Kita semua lahir dan mengetahui bagaimana tersenyum, namun kebanyakan ahli sepakat bahwa di mana, kapan, dan kepada siapa kita menunjukkan emosi ini dipelajari, dan karenanya dipengaruhi oleh konteks dan budaya. Sementara kebanyakan perilaku verbal kita bersifat eksplisit dan dip roses secara kognitif, perilaku nonverbal kita bersifat spontan, ambigu, sering berlangsung cepat, dan diluar kesadaran dan kendali kita. Karena itulah Edward T. Hall menamai bahasa nonverbal ini sebagai “bahasa diam” (silent language) dan “dimensi tersembunyi” (hiden dimension) suatu budaya. Disebut diam dan tersembunyi, karena pesan-pesan nonverbal tertanam dalam konteks komunikasi. Selain isyarat situasional dan relasional dalam transaksi komunikasi, pesan nonverbal memberi kita isyarat-isyarat kontekstual. bersama isyarat verbal dan isyarat kontekstual, pesan nonverbal membantu kita menafsirkan seluruh makna pengalaman komunikasi.
Dibandingkan dengan studi komunikasi verbal, studi komunikasi nonverbal sebenarnya masih relative baru. Bila bidang pertama mulai diajarkan pada zaman Yunani kuno, yakni studi tentang persuasi, khususnya pidato, studi paling awal bidang kedua mungkin baru dimulai pada tahun 1873 oleh Charles Darwin yang menulis tentang ekspresi wajah. Sejak itu, banyak orang mengkaji pentingnya komunikasi nonverbal demi keberhasilan komunikasi, bukan hanya ahli-ahli komunikasi, tetapi juga antropolog, psikolog, dan sosiolog. Simbol-simbol nonverbal lebih sulit ditafsirkan daripada simbol-simbol verbal. Tidak ada satu pun kamus andal yang dapat membantu menerjemahkan simbol nonverbal.
Salah seorang penggagas bahwa gerakan nonverbal itu sinkron dengan gerakan verbal adalah William Condon, setelah ia menganalisis ucapan dan gerakan tubuh secara terperinci, dengan menggunakan kamera film berkecepatan tinggi yang dilengkapi suara. Condon menduga bahwa tidak ada isyarat, bahkan tidak ada kedipan mata, yang bersifat acak. Setiap gerakan sinkron dengan ucapan.
FUNGSI KOMUNIKASI NONVERBAL.
Meskipun secara teoritis komunikasi nonverbal dapat dipisahkan dari komunikasi verbal, dalam kenyataannya kedua jenis komunikasi itu jalin menjalin dalam komunikasi tatap muka sehari-hari. Sebagian ahli berpendapat, terlalu mengada-ada membedakan kedua jenis komunikasi ini. Dalam bahasa, tanda Amerika untuk kaum tuna rungu gerakan tangan yang digunakan sebenarnya bersifat linguistic (verbal). Dalam komunikasi ujaran, rangsangan verbal dan rangsangan nonverbal itu hampir selalu berlangsung bersama-sama dalam kombinasi. Kedua jenis rangsangan itu diinterpertasikan bersama-sama oleh penerima pesan. Misalnya ketika anda mengatakan “tidak” tanpa anda sadari anda juga menggelengkan kepala pada saat yang sama; anda tidak mengatakan “tidak” terlebih dulu lalu menggelengkan kepala sesudahnya. Kita memproses kedua jenis rangsangan itu dengan cara serupa sehingga kita mudah mudah terkecoh untuk menekankan perbedaan yang sebenarnya tidak hakiki, seperti dijelaskan Mark L. Knapp:
Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini di tafsirkan melalui simbol-simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak sungguh-sungguh bersifat nonverbal.
Tidak ada struktur yang pasti, tetap, dan dapat diramalkan mengenai hubungan antara komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Keduanya dapat berlangsung spontan, serempak dan nonsekuensial. Akan tetapi, kita dapat menemukan setidaknya tiga perbedaan pokok antara komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Pertama, sementara perilaku verbal adalah salurantunggal, perilaku nonverbal bersifat multisaluran. Kata-kata dating dari satu sumber, misalnya yang diucapkan orang, yang kita baca di media cetak, tetapi isyarat nonverbal dapat dilihat, didengar, dirasakan, dibaui, atau dicicipi, dan beberapa isyarat boleh jadi berlangsung secara simultan. Bila kita mendengar suatu kata dalam bahasa asing yang tidak kita ketahui, kita dapat memeriksanya dalam kamus atau buku tentang frase dan memperkirakan apa yang dimaksud pembicara. Kita dapat pula meminta pembicara mengulangi dan menjelaskan kata yang diucapkannya. Namun kita sulit mengecek apa makna perilaku nonverbal pembicara, meskipun kita bisa mengajukan pertanyaan ganjil “Anda baru saja tersenyum dan menggerakkan kepala Anda seperti ini; Apa maksud Anda?”
Kedua, pesan verbal terpisah-pisah, sedangkan pesan nonverbal sinambung. Artinya, orang dapat mengawali dan mengakhiri pesan verbal kapan pun ia menghendakinya, sedangkan pesan nonverbal tetap “mengalir”, sepanjang ada orang yang hadir di dekatny. Ini mengingatkan kita pada salah satu prinsip  komunikasi bahwa kita tidak dapat tidak berkomunikasi; setiap perilaku punya potensi untuk ditafsirkan. Jadi meskipun anda dapat menutup saluran linguistik anda untuk berkomunikasi dengan menolak berbicara atau menulis, anda tidak mungkin menolak perilaku nonverbal. Seorang penulis mempelajari fakta ini dari produser film Sam Goldwyn ketika ia menyajikan proposalnya untuk sebuah film baru. “Mr. Goldwyn,” penulis itu memohon, “Saya akan menceritakan sebuah kisah yang sensasional. Saya hanya meminta pendapat anda, dan anda tertidur.” ‘Goldwyn menajawab, “Bukankan tidur juga suatu pendapat?” Dalam konteks ini, Erving Goffman menyarankan bahwa terdapat expression given dan expression given off; yang pertama merupakan komunikasi verbal untuk menyatakan informasi, yang kedua merupakan komunikasi nonverbal terlepas dari apakah hal itu disengaja atau tidak. Dalam buku lainnya Goffman mengatakan:
Meskipun seorang individu dapat berhenti berbicara, ia tidak dapat berhenti berhenti berkomunikasi melalui idiom tubuh; ia harus mengatakan suatu hal yang benar atau salah. Ia tidak dapat tidak mengatakan sesuatu. Secara paradoks, cara ia memberikan informasi tersedikit tentang dirinya sendiri – meskipun hal ini masih bisa dihargai – adalah menyesuaikan diri dan bertindak sebagaimana orang sejenis itu diharapkan bertindak.”
Perbedaan ketiga, komunikasi nonverbal mengandung lebih banyak muatan emosional daripada komunikasi verbal. Sementara kata-kata umumnya digunakan untuk menyampaikan fakta, pengetahuan, atau keadaan, pesan nonverbal lebih potensial untuk mendapatkan beasiswa atau memperistri seseorang ditolak, anda mungkin berkata, “Tak apa-apa,” tetapi ekspresi wajah dan pandangan mata anda boleh jadi menunjukkan kekecewaan yang mendalam.
Dilihat dari fungsinya, perilaku nonverbal mempunyai beberapa fungsi. Paul Ekman menyebutkan lima fungsi pesan nonverbal, seperti yang dapat di lukiskan dengan perilaku mata, yakni sebagai :
·         Emblem. Gerakan mata tertentu merupakan simbol yang memiliki kesetaraan dengan simbol verbal. Kedipan mata dapat mengatakan, “Saya tidak sungguh-sungguh.”
·         Ilustrator. Pandangan kebawah dapat menunjukkan depresi atau kesedihan.
·         Regulator. Kontak mata berarti saluran percakapan terbuka. Memalingkan muka menandakan ketidaksediaan berkomunikasi.
·         Penyesuai. Kedipan mata yang meningkat ketika orang berada dalam tekanan. Itu merupakan respons tidak disadari yang merupakan upaya tubuh untuk mengurangi kecemasan.
·         Affect Display. Pembesaran manik-mata (pupil dilation) menunjukkan peningkatan emosi. Isyarat wajah lainnya menunjukkan perasaan takut, terkejut atau senang.
Lebih jauh lagi, dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut :
·         Perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal, misalnya anda menganggukkan kepala ketika anda mengatakan “Ya,” atau menggelengkan kepala ketika mengatakan “Tidak,” atau menunjukkan arah (dengan telunjuk) ke mana seseorang harus pergi untuk menemukan WC.
·         Memperteguh, menekankan atau melengkapi perilaku verbal. Misalnya anda melambaikan tangan seraya mengucapkan “Selamat Jalan,” “Sampai jumpa lagi, ya,” atau “Bye bye”; atau anda menggunakan gerakan tangan, nada suara yang meninggi, atau suara yang lambat ketika anda berpidato di hadapan khalayak. Isyarat nonverbal demikian itulah yang disebut affect display.
·         Perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal, jadi berdiri sendiri, misalnya anda menggoyangkan tangan anda dengan telapak tangan mengarah ke depan (sebagai pengganti kata “Tidak”) ketika seorang pengamen mendatangi mobil anda atau anda menunjukkan letak ruang dekan dengan jari tangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ketika seorang mahasiswa baru yang bertanya, “Di mana ruang dekan, Pak?” Juga ekspresi wajah dapat menggantikan “hari yang buruk,” Isyarat nonverbal yang meggantikan kata atau frase inilah yang disebut eblem.
·         Perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal. Misalnya anda sebagai mahasiswa mengenakan jaket atau membereskan buku-buku atau melihat jam tangan anda menjelang kuliah berakhir, sehingga dosen segera menutup kuliahnya.
·         Perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan perilaku verbal. Misalnya, seorang suami mengatakan “Bagus! Bagus!” ketika diminta komentar oleh istrinya mengenai gaun yang baru dibelinya, seraya terus membaca surat kabar atau menonton televisi; atau seorang dosen melihat jam tangan dua-tiga kali, padahal tadi ia mengatakan bahwa ia mempunyai waktu berbicara dengan anda sebagai mahasiswanya.
KLASIFIKASI PESAN NONVERBAL
Menurut Ray L. Birdwhistell, 65% dari komunikasi tatap-muka adalah nonverbal, sementara menurut Albert Mehrabian, 93% dari semua makna sosial dalam komunikasi tatap muka diperoleh dari isyarat-isyarat nonverbal. Dalam pandangan Birdwhistell; kita sebenarnya mampu mengucapkan ribuan suara vokal, dan wajah kita dapat menciptakan 250.000 ekspresi yang berbeda. Secara keseluruhan, seperti di kemukakan para pakar, kita dapat menciptakan sebanyak 700.000 isyarat fisik yang terpisah, demikian banyak sehingga upaya untuk mengumpulkan akan menimbulkan fristasi.
Kita dapat mengklasifikasikan pesan-pesan nonverbal ini dengan berbagai cara. Jurgen Ruesch megkasifikasikan isyarat nonverbal menjadi tiga bagian. Pertama, bahasa tanda (sign language) - acungan jempol untuk numpang mobil secara gratis; bahasa isyarat tuna rungu; kedua, bahasa tindakan (action language) - semua gerakan tubuh yang tidak digunakan secara eksklusif untuk memberikan sinyal, misalnya berjalan; dan ketiga, bahasa objek (object language) – pertunjukkan benda, pakaian, dan lambang nonverbal bersifat publik lainnya seperti ukuran ruangan, bendera, gambar (lukisan), musik (misalnya marching band), dan sebagainya baik secara sengaja ataupun tidak. Secara garis besar Larry A. Samovar dan Richard E. Porter membagi pesan-pesan nonverbal menjadi dua kategori besar, yakni : pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan, dan parabahasa; kedua, ruang, waktu, dan diam. Klasifikasi Samovar dan Porter ini sejajar dengan klasifikasi John R. Wenburg dan William W. Wilmot, yakni isyarat-isyarat nonverbal perilaku (behavioral) dan isyarat-isyarat nonverbal bersifat publik seperti ukuran ruangan dan faktor-faktor situasional lainnya.
BAHASA TUBUH
Bidang yang menelaah bahasa tubuh adalah kinesika (kinesics), suatu istilah yang diciptakan seorang perintis studi bahasa nonverbal, Ray L. Birdwhistell. Setiap anggota tubuh seperti wajah (termasuk senyuman dan pandangan mata), tangan, kepala, kaki, dan bahkan tubuh secara keseluruhan dapat digunakan sebagai isyarat simbolik.
Isyarat tangan
Kita sering menyertai ucapan kita dengan isyarat tangan. Perhatikanlah orang yang sedang menelepon. Meskipun lawan bicara tidak terlihat, ia menggerak-gerakkan tangannya. Isyarat tangan atau “Berbicara dengan tangan” termasuk apa yang disebut emblem, yang dipelajari, yang punya makna dalam suatu budaya atau subkultur. Meskipun isyarat tangan yang digunakan sama, maknanya boleh jadi berbeda; atau, isyarat fisiknya berbeda, namun maksudnya sama. Dalam suatu studi yang melibatkan 40 budaya, sementara seorang spesialis Arab pernah mendaftar setidaknya 247 isyarat berlainan yang digunakan oleh Arab untuk melengkapi pembicaraan.
Saya pernah tinggal dengan sebuah keluarga Australia yang memiliki tiga anak lelaki. Anak terbesar sedang berada di Brasil ketika saya pertama kali tiba di rumah mereka. Sekita dua minggu  kemudian, anak mereka pulang dari Brasil, setelah setahun berada di sana. Pengalaman dan kenangan selama tinggal di sana diceritakan dengan antusias. Ternyata banyak sekali hal yang janggal dan lucu, karena kendala bahasa dan adat yang berbeda.
Ketika semua anggota keluarga mendapatkan oleh-oleh, saya pun mendapa bagian berupa sebuah patung kayu kecil yang menggambarkan kepalan tangan dengan posisi jempol di apit jari telunjuk dan jari tengah. Sesaat saya merasa malu, bingung, dan sama sekali tidak tahu harus berkata apa. Reaksi saya tampaknya mempengaruhi seisi rumah. Saya benar-benar rikuh, meskipun saya senang mendapatkan hadiah tersebut. Tetapi hadiah tersebut rasanya kurang pantas untuk saya. Sepengetahuan saya, posisi tangan demikian berkonotasi negatif dan tidak pantas diperlihatkan seperti itu.
Saya berusaha menerangkan apa yang terjadi dan makna posisi tangan seperti itu di Indonesia. Dalam hati, saya yakin bahwa ia tidak tahu tentang hal ini dan sejujurnya ia ingin memberi hadiah saja. Setelah mereka mengerti masalahnya, semua orang tertawa. Ternyata di Brasil posisi jari demikian punya arti yang berlawanan, yaitu good luck (semoga berhasil) atau sejenisnya yang berarti baik. Kini giliran saya yang tertawa, menyadari betapa gerakan tangan bisa memiliki arti yang sama sekali berbeda di negeri lain.
Gerakan Kepala
Di beberapa negara, angguakan kepala malah berarti “tidak,” seperti di Bulgaria, sementara isyarat untuk “ya” di negara itu adalah menggelengkan kepala. Orang Inggris, seperti orang Indonesia, ia menganggukkan kepala untuk menyatakan bahwa mereka mendengar, dan tidak berarti menyetujui. Di yunani, orang mengatakan “tidak” dengan menyentakkan kepalanya ke belakang dan menengadahkan wajahnya, begitu juga Timur Tengah, sementara di Ethiopia orang menggoyangkan jari dari sisi ke sisi, namun mengatakan “ya” dengan melemparkan kepalanya ke belakang. Sebagian orang Arab dan Italia mengatakan “tidak” dengan mengangkat dagu, yang bagi orang Maori di Selandia Baru berarti “ya”. Di beberapa wilayah di India dan Ceylon, “ya” dapat dikomunikasikan dengan melemparkan kepala ke belakang dan memutar leher sedikit, dengan menyentakkan kepala ke bawah-kanan, atau memutar kepala secara cepat dalam suatu gerakan melingkar. Gelengan kepala yang berarti “tidak” di Indonesia malah berarti “ya” di India Selatan. Seorang pria di Indonesia yang meninggalkan Bombay (Mumbay) untuk kembali ke Indonesia pernah terheran-heran ketika kuli yang membawakan barangnya dari taksi menuju ruang tunggu bandara, menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tetap berdiri dan tersenyum, setelah ia membayar jasanya dua dollar AS. Ia pikir upah yang ia berikan kurang. Maka ia menambahkan 0,50 dollar. Namun kuli itu tetap saja bersikap demikian, bahkan senyumannya melebar. Karena jengkel, ia tinggalkan juga kuli itu. Ternyata, berdasarkan obrolan dengan seorang warga Bombay, menggeleng-gelengkan kepala disana  berarti tanda setuju dan terima kasih atas pemberian upah tersebut, jadi artinya sama dengan mengangguk-anggukkan kepala di Indonesia.
POSTUR TUBUH DAN POSISI KAKI
Postur tubuh sering bersifat simbolik. Beberapa postur tubuh tertentu diasosiasikan dengan setatus social dan agama tertentu. Selama berabad-abad rakyat tidak boleh duduk atau berdiri lebih tinggi dari pada (kaki) raja atau kaisarnya. Dalam film anna and the king dilukiskan bagai mana anna ( yang menjadi guru anak-anak raja dikerajaan siam ) ditegur oleh petinggi kerajaan ketika ia menghadap raja dan melakukan penghormatan ala inggris dengan mnembukukan badannya, tetapi tetap dianggap kurang hormat karena tubuh wanita inggris itu masih lebih tinggi dari (kaki) raja.
Postur tubuh memang mempengaruhi citra diri. Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pisik dan karakter atau tempramen. Klasifikasi bentuk tubuh yang dilakukan William Sheldon mislanya menunjukan hubungan atara bentuk tubuh dan tempramen. Ia menghubungkan tubuh yang gemuk (endomorph) dengan sifat malas dan tenang, tubuh yang atletik (mensomorph) dengan sifat alternative dan kepercayaan diri, dan tubuh yang kurus (ectomorph) dengan sifat introvert yang lebih menyayangi aktifitas mental daripada aktifitas fisik. Cara duduk atau berdiri juga sering dimaknai berbeda di setiap Negara .
Tahukah anda bahwa seperempat penduduk terbiasa bersantai dengan berjongkok? Kebanyakan orang barat menganggap posisi ini tidak layak, primitive dan kekanak-kanakan.
Cara orang berjalan pun dapat memberi pesan pada orang lain apakah orang itu merasa, lelah, sehat, bahagia, riang, sedih, atau angkuh. Orang yang berjalan lamban member kesan loyo dan lemah. Pria yang berjalan tegap dan tenang ketika memasuki ruangan untuk diwawancarai member kesan percaya diri.
Ekspresi wajah dan Tatapan Mata
Para dramawan, pelatih tari bali, dan pembuat topeng dinegara kita paham betul mengenai perubahan suasana hati dan makna yang terkandung dalam ekspresi wajah, seperti juga pengarah, pemain, dan penari kabuki di Jepang. Masuk akal banyak orang beranggapan perilaku nonverbal yang paling banyak “berbicara” adalah ekspresi wajah, khususnya pandangan mata meskipun mulut tidak berkata. Okulesika (oculesics) merujuk pada setudi tentang penggunaan kontak mata (termasuk reaksi manic mata) dalam berkomunikasi. Menurut Robert Mahrabian, andil wajah bagi pengaruh pesan adalah 55%, sementara vocal 30%, dan verbal hanya 7%. Menurut Birdwhistell, perubahan sangat sedikit saja dapat menciptakan perbedaan yang besar. Ia menemukan misalnya bahwa terdapat 23 cara berbeda dalammengangkat alis yang masing-masing mempunyai makna yang berbeda.
Kontak mata punya dua fungsidalam komunikasi antar peribadi. Pertama, fungsi pengantar untuk memberitahu orang lain apakah anda akan melakukan hubungan dengan orang itu atau menghindarinya. Ketika anda berada dalam lift, misalnya memberi tahu ,mereka bahwa anda lebih tidak suka berbicara dengan tidak melihat mata mereka. Jika anda ingin memcahkan kebekuan itu, anda menggunakan mata anda untuk berhubungan baik sebelum atau serempak dengan pesan verbal anda. Kedua, fungsi eksfresif, memberitahu orang lain bagaimana perasaan anda terhadapnya. Pria lebih banyak menggunakan kontak mata dengan orang yang mereka sukai, meskipun menurut penelitian, perilaku ini kurang ajag di kalangan wanita.
Ekspresi wajah merupakan perilaku  nonverbal utama yang mengekspresikan keadaan emosional seseorang. Sebagian pakar mengakui, terdapat beberapa keadaan emosional yang dikomunikasikan oleh ekspresi wajah yang tampaknya dipahami secara universal; kebahagiaan, kesedihan, ketakutan, keterkejutan, kemarahan, kejijikan, dan minar. Ekspresi-ekspresi wajah tersebut dianggap “murni,” sedangkan keadaan emosional lainnya (misalnya malu, rasa berdosa, bingung, puas) dianggap “campuran,” yang umumnya lebih bergantung pada interpretasi. Sedikit kekecualian atau variasi memang harus diantisipasi. Misalnya – seperti lazimnya – orang Amerika menunjukkan keterkejutannya dengan mulut ternganga dan alis yang naik, sedangkan orang-orang Eskimo, Tingit, dan Brasil menunjukkan hal yang sama dengan menepuk pinggul mereka.
Secara umum dapat dikatan bahwa ekspresi wajah dan pandangan mata tidak lah universal, melainkan sangat dipengaruhi oleh budaya.
SENTUHAN
Setudi tentang sentuh-menyentuh disebut haptika (haptics) sentuhan, seperti foto adalah perilaku nonverbal yang multi makna dapat menggantikan seribu kata. Kenyataan sentuhan ini bisa merupakan tamparan, cubitan, pukulan, senggolan, tepukan, pelukan, pegangan (jabat tangan), rabaan, hingga sentuhan lembut sekilas.

Menurut Heslin, terdapat lima kategori sentuhan, yang merupakan suatu rentang dari yang sangat inprosional hingga yang sangat personal. Kategori-kategori tersebut adalah sebagai berikut :
·         Fungsional-profesional, disini sentuhan bersifat “dingin” dan berorientasi bisnis, misalnya pelayan toko membantu pelanggan memilih pakaian.
·         Sosial-sopan. Perilaku dalam situasi ini membangun dan mempertegyuh pengharapan antara dan praktik social yang berlaku, misalnya berjabatan tangan.
·         Persahabatan-kehangatan. Kategori ini meliputi setap sentuhan yang mendakan efeksi atau hubungan yang akrab, misalnya dua orang yang saling merangkul setelah mereka lama berpisah
·         Cinta-keintiman. Kategori ini merujuk pada sentuhan yang menyatakan ketertarikan, misalnya mencium pipi orang tua dengan lembut, orang yang sepenuhnya memeluk orang lain, dua orang yang bermain kaki di bawah meja, orang Eskimo yang saling menggosoka hidung.
·         Rangsangan-seksual. Kategori ini berkaitan dengan kategori sebelumnya, hanya saja motofnya bersifat seksual. Rangsangan seksual tidak otomatis bermakna cinta atau keintiman.
Seperti makna pesan verbal, makna pesan nonverbal, termasuk sentuhan, bukan hanya bergantung pada budaya, tetapi juga pada konteks. Jabatan tangan kepada seorang kawan lama bisa berarti “saya senang berjumpa dengan kamu lagi” kepada orang yang baru kita kenal pertama kali “kita lihat nanti apakah kita cocok untuk bersahabat, kepada sejawat yang baru pulang lulus dari studi S2 atau S3 diluar negri, “selamat atas keberhasilan anda” kepada mitra bisnis,” mudah mudahan usaha kita berhasil”, kepada tetangga yang kita kunjungi pada saat lebaran, “marilah kita saling memaafkan dan saling melupakan kesalahpahaman yang pernah terjadi di antra kita.
Benar kata Birdwhistell bahwa tindakan, seperti kata-kata, hanya mempunyai makna social dalam konteks. Kita tidak dapat sekedar bertanya apa makna suatu isyarat, karena kita tidak dapat membuat generalisasi mengenai gerakan tubuh dalam semua situasi.
Berbagai budaya memperaktekan berjabat tangan (slaman) dengan cara yang berlainan. Di spanyol orang diharapkan dengan lima hingga tujuh goyangan tangan, di prancis satu kali saja, yang membuat orang spanyol tersinggung karena hal itu dianggap penolakan. Dalam budaya sunda salaman tradisional dilakukan dengan kedua tangan dengan telapak tangan dirapatkan berhadapan, dimulai dengan menyentuhkan tangan kita ke tangan oran lain lalu kita menyentuhkan ibu jari yang dirapatkan ke hidung. Dalam budaya Jawa, salaman tradisionalnya justru dimulai dengan menyentuhkan kedua ibu jari kehidung, lalu menyentuhkan tangan kita ketangan orang lain. Bila seorang wanita sunda bersalaman dengan wanita jawa dengan cara tradisional dengan menggerakan tangan mereka pada saat yang sama, kemungkinan bessar tangan-tangan mereka tidak pernah bertemu, karena perbedaan cara salaman tersebut.
PARABAHASA
Parabahsa atau vikalika (vokalics) merujuk pada aspek-aspek suara selain ucapan yang dapat dipahami, misalnya kecepatan berbicar, nada (tinggi atau rendah), intensitas (volume), suara intonasi, kualitas vocal (kejelasan), warna suara, dialek, suara serak, suara senggau, suara terputus-putus, suara yang gemetar, suitan, tawa, erangan, tangisan, grutuan, gememman, desahan dan s ebagainya. Setiap karakteristik suara ini mengkomunikasikanemosi dan pikiran kita. Suara yang terengah-engah menandakan kelemahan, sedangkan suara yang terlalu cepat menandakan ketegangan, kemarahan, atau ketakutan. Riset membuktikan bahwa pendengar mempersepsi keperibadian komunikator lewat suara. Tidak berrti bahwa persepsi mereka akurat, alih-alih mereka mendapat persepsi tersebut berdasarkan eteorotif yang telah mereka kembangkan. Wanita dengan suara basah (misalnya sebagai penyiar radio) dipersepsi lebih feminism dan lebih cantik daripada wanita tanpa suara basah. Sedangkan pria dengan nada suara tinggi atau melengking dianggap kewanita-wanitaan.  Atau boleh jadi wanita bersuara basah kelebihan berat badan dan pria yang bersuara melengking petinju kelas berat. Salah satu kelebihan lagu-lagu kelompok peterpan yang populer pada dekade pertam abad 21 di indonesiakarena suara penyanyinya, Aril, dianggap seksi terutama oleh kaum wanita penggemarnya.
Terkadang kita bosan mendengarkan pembicaraan orang, bukan kerena isi pembicaraannya, melainkan Karena cara menyampaikannya yang lamban dan monoton. Mehrabian dan Ferris menyebutkan bahwa parabahsa adalah terpenting kedua setelah ekspresi wajah dalam menyampaikan perasaan atau emosi. Menurut formula mereka, parabahasa mempunyai andil 38% darikeseluruhan infak pesan. Oleh karena ekspresi wajah punya andil 55% dari keseluruhan infak pesan, lebih dari 90% isi emosionalnya ditentukan secara nonverbal. Bahkan Marabian dan Ferris mengakui bahwa impak kata-kata terucap terhadap komponen emosional pesan hanya sekitar7%.
Anda ingat, sebagian anggota DPR dan MPR yang “terhormat” itu berteriak “ Huu….” Saat presiden B.J Habibi datang menghadiri rapat paripurna MPR tahun 1999. Tidak sulit memaknai teriakan “Huuu…” itu sebagai pelecehan, meskipun orang-orang bersangkutan mengucapkan kata apapun. Itu lah salah satu contoh parabahasa. Meskipun aspek-aspek parabahasa ini bersangkutan erat dengan komunikasi verbal, aspek-aspek tersebut harus dianggap bagian dari komunikasi nonverbal , yang menunjukan kepada kita bagaimana parasaan pembicara mengenai pesannya, apakah ia percaya diri, gugup, atau menunjukan aspek-aspek emosional lainya.
PENAMPILAN FISIK
Perhatikan pada penampilan fisik nampaknya universal. Sekitar 40.000 tahun lalu orang-orang purba menggunakan tulang untuk dijadikan kalung dan hiasan tubuh lainya. Bukti-bukti arkeologis menunjukan bahwa sejak saat itu orang-orang sangat peduli dengan tubuh mereka. Mereka mengecatnya, mengikatkan sesuatu padanya, dan merajahnya untuk terlihat cantik.
Setiap oaring mempunyai persepsi mengenai penampilan fisik seseorang, baik itu busananya ( model,kualitas bahan, warna ) dan juga ornament lain yang dipakainya, seperti kaca mata, sepatu, tas, jam tangan, kalung, gelang, cincin, anting-anting, dan sebagainya. Seringkali ornag member makna tertentu pada karakteristik fisik orang yang bersangkutan, seperti bentuk tubuh, warna kulit, model rambut, dan sebagainya.
BUSANA
Nilai-nilai agama, kebiasaan, tuntutan lingkungan ( tertulis atau tidak ), nilai kenyamanan, dan tujuan pecintaan semua itu mempengaruhi cara kita berdandan. Bangsa-bangsa yang mengalami empat musim yang berbeda menandai perubahan musim itu dengan cara mereka berpakaian. Pada musim dingin dengan udara dibawah 0 derajat Celsius misalnya, tidak ada orang yang menggunakan T, shirt dan celana pendek diluar rumah. Di amerika busana berwarna teduh dikenakan untuk kegiatan bisnis dan social. Di India dan Myanmar, busana bisnis lebih kasual daripada di Eropa. Sering kali mereka mengenakan busana tradisional, seperti yang juga dilakukan orang Arab ketika mereka berbisnis dengan orang luar. Setiap fase penting dalam kehidupan sering ditandai dengan memakai busana tertentu, seperti pakaian tradisional ketika anak lelaki di sunat, juga ketika kita di wisuda, pakaian pengantin ketika kita menikah, dan kain kafan ketika kita meninggal.
Karakteristik Fisik
Seorang peria dengan wajah kelimis boleh jadi bertanya kepada pria lain yang berjenggot, “mengapa anda berjanggut?” padahal pertanyaan “mengapa wajah anda berkumis?”  sama sahnya untuk diajukan kepadanya. Pria muslim berjenggot seringb dipersepsi sebagai fanatic dan fundamentalis, tetapi tahukah anda bahwa wajah klimis konon melambangkan wajah atlet-atlet Yunani. Karakteristik fisik seperti daya tarik, warna kulit, rambut, kumis, jenggot, dab lipstick, jelas dapat mengkomunikasikan sesuatu. Suatu studi menunjuka bahwa daya tarik fisik merupakan cirri penting dalam banyak kepribadian, meskipun bersifat implisift. Orang yang menarik secara fisik secara ajeg dinilai lebih pandai bergaul, luwes, tenang, menarik, hangat secara seksual, resposif, persuasive, dan berhasil dalam karier dari pada orang yang kurang menarik.
BAU-BAUAN
Konon menurut para ahli, stiap orang memiliki bau tubuh yang khas, berkat zat yang khas yang keluar dari tubuhnya, meskipun ia tidak memakai minyak wangi apapun. Hanya saja diperlukan kepekaan untuk mengetahui bau tubuh seseorang. Sebagian suami istri boleh jadi mengenal bau tubuh pasangannya masing-masing, karena begitu lamanya mereka saling berdekatan,. Tetapi ini bukan bau badan Karen keringat atau belum mandi, melainkan bau badan yang benar-benar alami, yang ditebarkan senyawa kimia (disebut Feromon) yang dihasilkan kelenjar tertentu dalam tubu. Para ahli menganalogikan bau bau badan orang ini dengan sidik jari, karena merukan cirri khas setiap orang yang tidak sama dengan bau badan setiap orang lainnya. Konon bau badan unik setiap orang ini juga berfungsi sebagai daya tarik seksual.
Kita dapat menduga bagaimana sifat seseorang dan selera makannya atau kepercayaannya berdasarkan  bau yang berasal dari tubuhnya dan dari rumahnya. Bau kemenyan yang berasal dari rumah tetangga kita setiap malam Jum’at mengkomunikasikan kepercyaan penghuni rumah itu, sebagimana bau goring jengkol dari rumah yang sama dapat menyampaikan pesan mengenai makan pemilik rumah. Manusia modern, khususnya wanita, kini menggunakan wewangian, terutama farfum, untuk mewangikan tubuh mereka, memperoleh citra diri yang positif dan menarik lawan jenisnya. Maka berbagai produk pewangi tubuh ini pun diiklankan besar-besaran, dan mudah dibeli dipasaran. Berbagai macam pewangi mulut pun mulai dipasarkan dan dijual. Mereka yang mengkonsumsinya dikesankan akan memperoleh kesan positif dari lawan bicara, khususnya yang berlainan jenis.
Wewangian mengirim kesan lebih mendalam keotak.”kata Herry Darsono, perancang model terkenal, sedangkan Victor Hugo mengatakan , “tidak sesuatupun membangkitkan kenangan seperti suatu bau”. Bau bunga melati mungkin akan mengingatkan kita pada kematian seseorang yang kita kasihi belasan tahun lalu, atau pada perkawinan kita puluhan tahun lalu. Bau farpum tertentupun boleh jadi mengingatkan kita pada seseorang yang khusus: ibunda, istri, mantan pacar, sahabat, yang mungkin telah tiada.
ORIENTASI RUANG DAN JARAK PRIBADI
Setiap budaya punya cara yang khas dalam mengkonseptualisasikan ruang, baik didalam rumah, diluar rumah ataupun didalam berhubungan dengan orang lain, Edward T.Hall adalah antropolog yang menciptakan istilah proxemics (proksemika) aebagai bidang studi yang menelaah persepsi manusia atas ruang (pribadi dan social), cara manusia menggunakan ruang dan pengaruh ruang terhadap komunikasi. Beberapa pakar lainnya memperluas konsep proksemika ini dengan memperhitungkan seluruh lingkungan fisik yang mungkin berpengaruh terhadap proses komunikasi, termasuk iklim (temperature), pencahayaan, dan kepadatan penduduk.
William Griffith dan Russell Veitch mengemukakan bahwa ketertarikan kita kepada seseorang juga dipengaruhi oleh temperature dan kepadatan penduduk. Seorang wanita akan tampak ‘lebih cantik” atau “lebih menarik” ditempat yang bersuhu normal ketimbang ditempat yang bersuhu lebih tinggi, dan di tempat yang kepadatan penduduknya rendah ketimbang ditempan yang kepadatan penduduknya tinggi. Ini mengisyaratkan bahwa seorang wanita yang tidak menarik pun akan terlihat “ bila iya satu-satunya wanita disuatu pulau, sementara penduduk pulau lainya itu adalah lelaki, sehingga boleh jadi wanita tersebut akan diperbutkan. Studi Griffit dan Veitch membantu menjelaskan mengapa daerah-daerah kumuh diperkotaan terhadap berbagai kerusuhan atau tawuran antar warga, seperti yang s  erring terjadi di Jakarta. Masuk akal pula bahwa anggka pembunuhan di Amerika Serikat selalu meningkat pada musim panas dibandingkan dengan tiga musim lainnya. Sebabnya, pada musim panas siang hari dinegara itu lebih panjang dari pada musim lainnya, itu berarti lebih banyak orang keluar pada musim itu, apalagi musim liburan pun jatuh pada musim panas, intensitas interaksi antar manusia yang tinggi pada gilirannya juga menimbulkan frekuensi keributan yang tinggi pula. 
Ruang Pribadi vs Ruang Publik
Setiap orang, baik ia sadar atau tidak, memiliki ruang pribadi (personal space) imajiner yang bila dilanggar, akan membuatnya tidak nyaman. Kita selalu membawa ruang pribadi ini kemana pun kita pergi, juga ketika kita naik lift atau naik bus kota yang penuh sesak. Begitu masuk lift, sebagai kompensasi atas terlanggarnya ruang pribadi, kebanyakan orang berdiam kaku, berusaha untuk tidak menyentuh orang lain, menghindari tatapan orang lain, melihat langit-langit, atau petunjuk di atas pintu lift. Mereka baru kembali ke keadaan normal lagi begitu mereka keluar dari lift.
Untuk membuktikan lebih seksama bahwa setiap orang memiliki ruang pribadi ini – bila anda laki-laki – hampirilah seorang wanita yang tidak anda kenal (yang biasanya ruang pribadinya lebih besar daripada ruang pribadi orang yang anda kenal) sedekat mungkin dengan anda. Misalnya anda duduk tiba-tiba di sampingnya di perpustakaan, padahal ruang yang ada cukup lapang. Ia pasti akan memberikan reaksi, seperti bergeser ke samping, atau meletakkan buku atau tas sebagai pembatas antara dia dan anda. Bila ia pindah ke tempat lain, ikuti dia dan duduklah di dekatnya seperti tadi. Kali ini mungkin ia akan cemberut, menggerutu, atau memelototi anda. Jika ia menjauh lagi, dekati lagi. Kini mungkin ia membentak anda untuk tidak mengganggunya, atau ia kabur meninggalkan anda (anda dapat juga melakukan hal tersebut terhadap seorang pria, dengan resiko anda akan dianggap homoseksual).
Ruang pribadi kita identik dengan “wilayah tubuh” (body territory), satu dari empat kategori wilayah yang digunakan manusia berdasarkan perspektif Lyman dan Scott. Ketiga wilayah lainnya adalah : wilayah publik (public territory), yakni  tempat yang secara bebas dimasuki dan ditinggalkan orang, dengan sedikit kekecualian (hanya boleh dimasuki oleh kalangan tertentu atau syarat tertentu); wilayah rumah (home teritorry), yakni wilayah publik yang bebas dimasuki dan digunakan orang yang mengakui memilikinya, misalnya bar homoseksual dan klub privat; dan wilayah interaksional (interactional teritorry), yakni tempat pertemuan yang memungkinkan semua orang berkomunikasi secara infromal, seperti tempat pesta atau tempat cukur.
Posisi Duduk dan Pengaturan Ruangan
Saat anda pertama kali memasuki ruangan kuliah dan memilih kursi, anda harus memutuskan dimana anda akan duduk, di depan, di tengah, atau di belakang. Posisi duduk yang anda putuskan, bila anda berpeluang untuk itu, boleh jadi akan ditafsirkan orang, termasuk dosen anda. Bila anda memilih duduk di depan, mungkin anda di anggap orang pandai, ingin memperoleh nilai yang baik, hangat, terbuka, atau mencari perhatian. Posisi tengah mungkin diidentikkan dengan kerendahan hati, tidak ingin menonjol, sedangkan posisi belakang mungkin diasosiasikan dengan ketidak pedulian atau kebodohan.
Secara umum dapat dikatakan, semakin formal penataan ruangan, semakin formal pulalah komunikasi yang di kehendaki. Hubungan pembicara dengan pendengar dalam suatu kuliah, seminar, lokakarya atau pelatihan, juga bergantung pada pengaturan furnitur.
Penataan ruangan ini, baik ruang tertutup atau ruang terbuka boleh jadi berkaitan dengan kepribadian, kebiasaan atau dilandasi oleh kepercayaan atau ideologi tertentu. Pintu ruang kantor orang yang pribadinya terbuka boleh jadi lebih sering terbuka daripada pintu ruang kantor orang yang pribadi tertutup.
KONSEP WAKTU
Waktu menentukan hubungan antarmanusia. Pola hidup manusia dalam waktu dipengaruhi oleh budayanya. Waktu berhubungan erat dengan perasaan hati dan perasaan manusia. Kronemika (chronemics) adalah studi dan interpretasi atas waktu sebagai pesan. Bagaimana kita mempersepsi dan memperlakukan waktu secara simbolik menunjukkan sebagian dari jati-diri kita: siapa diri kita dan bagaimana kesadaran kita akan lingkungan kita. Bila kita selalu menepati waktu yang di janjikan, maka komitmen pada waktu memberikan pesan tentang diri kita. Demikian pula sebaliknya, bila kita sering terlambat menghadiri pertemuan penting.
Edward T.Hall membedakan konsep waktu menjadi dua: waktu monokronik (M) dan waktu polikronik (P). Penganut waktu polikronik memandang waktu sebagai suatu putaran yang kembali dan kembali lagi. Mereka cenderung mementingkan kegiatan-kegiatan yang terjadi dalam waktu ketimbang waktu itu sendiri, menekankan keterlibatan orang-orang dan penyelesaian  transaksi ketimbang menpati jadwal waktu. Sebaliknya penganut waktu monokronik cenderung mempersepsi waktu sebagai berjalan lurus dari masa silam ke masa depan dan memperlakukannya sebagai entitas yang nyata dan bisa di pilah-pilah, di habiskan, di buang, di hemat, di pinjam, di bagi, hilang atau bahkan dibunuh, sehingga mereka menekankan penjadwalan dan kesegeraan waktu. Waktu P dianut kebanyakan budaya timur, eropa selatan (italia, yunani, spanyol, portugal) dan Amerika Latin, sedangkan waktu M dianut kebanyakan budaya barat (Eropa Utara, Amerika Utara dan Australia).
Penganut waktu M cenderung lebih menghargai waktu, tepat waktu, dan membagi-bagi serta menepati jadwal waktu secara ketat, menggunakan satu segmen waktu untuk mencapai suatu tujuan. Sebaliknya penganut waktu P cenderung lebih santai, dapat menjadwalkan waktu untuk mencapai beberapa tujuan sekaligus. Karena dipengaruhi konsep waktu M, warga New York berjalan cepat, bagai dikejar setan, kontras dengan warga Jakarta – apalagi wakrga Yogyakarta – yang berjalan santai, karena dipengaruhi waktu P. Cara jalan mahasiswa di kampus-kampus Indonesia. Ketika mahasiswa Amerika berjumpa dengan kawannya, ia mengatakan “Hello” atau “Hi”, lalu ngobrol beberapa menit, dan bergegas lagi ke perpustakaan untuk belajar atau ke pondokannya untuk mengerjakan tugas. Bandingkan dengan mahasiswa Indonesia yang sering ngobrol panjang sambil berjemur pelataran kampus. Mahasiswa Amerika menggunakan sepatu roda dan skateboard untuk mengejar waktu kuliah, agar memperoleh tempat duduk paling strategis; mahasiswa Indonesia menggunakan benda-benda itu untuk gaya-gayaan.
DIAM
Ruang dan waktu adalah bagian dari lingkungan kita yang juga dapat di beri makna. John Cage mengatakan, tidak ada sesuatu yang disebut ruang kosong atau waktu kosong. Selalu ada sesuatu untuk dilihat, sesuatu untuk didengar. Sebenarnya, bagaimanapun kita berusaha untuk diam, kita tidak dapat melakukannya. Amatullah (Jyly) Armstrong, seorang sufi wanita Australia, mengatakan bahwa musik terindah baginya adalah keheningan malam saat ia berdoa kepada Allah. Penyanyi dan penulis lagu Paul Simon mungkin paling diingat karena lagunya “The Sound of Silence”. (Suara Diam). Bagi sebagian orang, judul lagu yang dinyanyikan Simon dan Garfunkel ini tampaknya mengandung kata-kata yang bertentangan, namun lagu itu menunjukkan kekuatan diam ketika kita berkomunikasi. Maka tidaklah mengejutkan, dalam beberapa kasus perkosaan yang digelar dalam pengadilan di Indonesia, tuduhan jaksa bahwa si terdakwa telah memperkosa dapat dimentahkan oleh argumen terdakwa atau pembelanya bahwa wanita yang menjadi korban berdiam diri, tidak mengaduh, menjerit, atau berteriak. Mereka berkilah bahwa wanita korban pun “menikmati” tindakan terdakwa. Bagaimana kita menafsirkan perliaku diam wanita yang menjadi korban dalam kasus itu. Tidak mudah, bukan? Akan tetapi, boleh jadi wanita tersebut tidak melakukan perlawanan, tidak mengaduh, menjerit, atau berteriak, karena ia khawatir akan dianiaya atau bahkan dibunuh oleh pemerkosanya.
Penulis dan filosof Amerika Henry David Thoreau pernah menulis, “Dalam hubungan manusia tragedi mulai bukan ketika ada kesalah pahaman mengenai kata-kata, namun ketika diam tidak dipahami.” Sayangnya makna yang diberikan terhadap diam terikat oleh budaya dan faktor-faktor sitausional. Faktor-faktor yang mempengaruhi diam antara lain adalah durasi diam, hubungan antara orang-orang yang bersangkutan, dan situasi atau kelayakan waktu.
WARNA
Kita sering menggunakan warna untuk menunjukkan suasana emosional, cita rasa, afiliasi politik, dan bahkan mungkin keyakinan agama kita, seperti ditunjukkan kalimat atau frase berikut: wajahnya merah, koran kuning, feeling blue, matanya hijau kalau melihat duit, kabinet ijo royo-royo, dan sebagainya.
Tampaknya ada hubungan antara warna yang digunakan dengan kondisi fisiologis dan psikologis manusia, meskipun kita memerlukan lebih banyak penelitian untuk membuktikan dugaan ini. Misalnya, bukti ilmiah menunjukkan bahwa gerakan pernapasan akan meningkat oleh cahaya merah dan menurun oleh cahaya biru. Serupa dengan itu, frekuensi kedipan mata bertambah ketika mata dihadapkan oleh cahaya merah dan berkurang ketika dihadapkan pada cahaya biru. Ini tampaknya konsisten dengan perasaan naluriah kita tentang warna biru yang lebih menyejukkan dan warna merah yang lebih aktif. Bagaimana pun, tampaknya kita tidak dapat beristirahat tenang di ruangan yang dinding-dindingnya berwarna merah menyala.
ARTEFAK
Artefak adalah benda apa saja yang dihasilkan kecerdasan manusia. Aspek ini merupakan perluasan lebih jauh dari pakaian dan penampilan yang telah kita bahas sebelumnya. Benda-benda yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan dalam interaksi manusia, sering mengandung makna-makna tertentu. Bidang studi mengenai hal ini disebut  objektika (objectics). Rumah, kendaraan, prabot rumah dan modelnya (furnitur, barang elektronik , lampu kristal), patung, lukisan, kaligrafi, foto saat bersalaman dengan presiden, buku yang kita pajang di ruang tamu, koran dan majalah yang kita baca, botol minum keras, bendera dan benda-benda lain dalam lingkungan kita adalah pesan-pesan bersifat nonverbal, sejauh dapat di beri makna.
Tanpa memperhatikan sungguh-sungguh bagaimana budaya mempengaruhi komunikasi, termasuk komunikasi nonverbal dan pemaknaan terhadap pesan nonverbal tersebut, kita bisa gagal berkomunikasi dengan orang lain. Kita cenderung menganggap budaya kita, dan bahasa nonverbal kita, sebagai standar dalam menilai bahasa nonverbal orang dari budaya lain. Bila perilaku nonverbal orang lain berbeda dengan perilaku nonverbal kita, sebenarnya itu tidak berarti orang itu salah, bodoh atau sinting; alih-alih, secara kultural orang itu sedikit berbeda dengan kita. Bila kita langsung meloncat pada kesimpulan tentang orang lain berdasarkan perilaku nonverbalnya yang berbeda itu, maka kita terjebak dalam etnosentrisme (menganggap budaya sendiri sebagai standar dalam mengukur budaya orang lain).

No comments:

Post a Comment